Friday, August 21, 2009

SERIAL PUASA: ADAB SAHUR

penulis asmaul chusna |

Nggak mau kan puasa anda berkurang barakahnya hanya gara-gara kita tidak menjaga adab-adabnya?? Berikut serial puasa yang membahas masalah sahur. Jangan hanya karena alasan ngantuk, anda tidak bersahur. Syaikh Salim bin Ied al Hilaaly, dalam eBook "Fikih Puasa Praktis: Berpuasa Seperti Rasulullah Shalalahu Alaihi Wasallam" menjelaskan adab dan keutamaan makan sahur dengan cukup jelas. Semoga bermanfaat ^.^

Hikmah Makan Sahur

Allah mewajibkan puasa kepada kita sebagaimana Ia telah mewajibkannya kepada orang-orang sebelum kita dari kalangan Ahlul Kitab. Allah berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (Qs. al-Baqarah [2]: 183).

Waktu dan hukum puasa bagi umat Islam tak ubahnya dengan apa yang diwajibkan kepada Ahlul Kitab, yakni tidak boleh makan dan minum dan berjima’ setelah tidur. Artinya, jika salah seorang dari mereka tidur, ia tidak boleh makan hingga malam selanjutnya. Ketentuan semacam ini juga berlaku bagi kaum Muslim.[1] Rasulullah Saw telah memerintahkan untuk makan sahur sebagai pembeda antara puasa kita dengan puasanya Ahlul Kitab.

Dari Amr bin ‘Ash ra, Rasulullah Saw bersabda:

“Pembeda antara puasa kita dengan puasanya ahli kitab adalah makan sahur.”[2]

Keutamaan Makan Sahur

Di antara keutamaan makan sahur bagi seorang Muslim adalah sebagai berikut:

Pertama, makan sahur adalah keberkahan. Dari Salman ra dituturkan, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:

“Keberkahan itu ada pada tiga perkara: al-Jama’ah, ats-Tsarid dan makan Sahur.”[3]

Dari Abu Hurairah ra diceritakan, bahwa Rasulullah Saw bersabda:

“Sesungguhnya Allah menjadikan keberkahan pada makan sahur dan takaran.”[4]

Dari Abdullah bin al-Harits dari seorang sahabat Rasulullah Saw diriwayatkan, dikisahkan, Aku masuk menemui Nabi Saw ketika itu beliau sedang makan sahur, beliau bersabda:

“Sesungguhnya makan sahur adalah keberkahan yang Allah berikan kepada kalian, maka janganlah kalian tinggalkan.”[5]

Keberadaan makan sahur sebagai sebuah keberkahan sangatlah jelas. Sebab, dengan makan sahur berarti mengikuti sunnah, menguatkan puasa, dan memompa semangat untuk menambah puasa. Sebab, dengan makan sahur, puasa menjadi terasa lebih ringan bagi orang yang menjalankannya.

Dengan makan sahur juga, kita telah menyelisihi Ahlul Kitab. Sebab, mereka tidak melakukan makan sahur. Oleh karena itu Rasulullah Saw menamakannya dengan makan pagi yang diberkahi sebagaimana yang telah disebutkan di dalam dua hadits al-Irbath bin Syariyah dan Abu Darda ra:

“Marilah menuju makan pagi yang diberkahi, yakni sahur.”[6]

Kedua, Allah dan malaikatNya bershalawat kepada orang-orang yang makan sahur. Barangkali, keberkahan sahur yang begitu melimpah tersebut disebabkan karena Allah SWT akan mencurahkan ampunanNya kepada orang-orang yang makan sahur, memenuhi mereka dengan rahmatNya, dan malaikat Allah akan memintakan ampunan bagi mereka, berdoa kepada Allah agar mema’afkan mereka supaya mereka termasuk orang-orang yang dibebaskan dari siksa api neraka oleh Allah di bulan Ramadhan.

Dari Abu Sa’id al-Khudri ra, Rasulullah Saw bersabda:

“Sahur itu makanan yang barakah, janganlah kalian meninggalkannya walaupun hanya meneguk setengah air, karena Allah dan malaikatNya bershalawat kepada orang-orang yang sahur.”

Oleh sebab itu, seorang Muslim hendaknya tidak menyia-nyiakan pahala besar yang berasal dari Rabb Yang Maha Pengasih. Adapun makan sahur yang paling utama adalah buah korma. Rasulullah Saw bersabda:

“Sebaik-baik sahurnya seorang mukmin adalah korma.”[7]

Barangsiapa yang tidak menemukan korma, hendaknya bersungguh-sungguh untuk bersahur walau hanya dengan meneguk seteguk air; disebabkan begitu melimpahnya keutamaan makan sahur, dan juga karena sabda Rasulullah Saw, “Makan sahurlah kalian walau dengan seteguk air.”

Mengakhirkan Sahur

Disunnahkan mengakhirkan sahur sesaat sebelum fajar. Pasalnya, Nabi Saw dan Zaid bin Tsabit ra melakukan sahur, dan ketika selesai sahur Nabi Saw bangkit untuk shalat subuh. Sedangkan jarak (selang waktu) antara sahur dan masuknya shalat Shubuh kira-kira sama dengan waktu yang dibutuhkan untuk membaca lima puluh ayat di Kitabullah.

Anas ra meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit ra:

“Kami makan sahur bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian beliau sholat.” Aku tanyakan (kata Anas), “Berapa lama jarak antara adzan dan sahur?” Zaid menjawab, “kira-kira 50 ayat membaca al-Qur’an.”[8]

Ketahuilah wahai hamba Allah, kita diperbolehkan makan, minum, jima’ selama dalam keadaan ragu, apakah fajar telah terbit atau belum. Di samping itu Allah serta RasulNya telah menerangkan batasan waktu puasa hingga jelas benar, bahwa waktunya telah masuk Shubuh. Oleh karena itu, Allah SWT memaafkan kesalahan, kelupaan serta membolehkan makan, minum dan jima’, selama belum ada kejelasan; sedangkan orang yang masih ragu belum mendapat kejelasan, sehingga ia boleh makan, minum, dan jima’. Sesunguhnya kejelasan adalah keyakinan yang tidak ada keraguan lagi.

Hukum Makan Sahur

Rasulullah Saw telah memerintahkan kaum Muslim untuk makan sahur. Dalam sebuah riwayat dituturkan, bahwasanya beliau bersabda:

“Barangsiapa yang mau berpuasa hendaklah sahur dengan sesuatu.”[9]

Dalam riwayat lain, beliau juga bersabda:

“Makan sahurlah kalian karena dalam sahur ada barakah.”[10]

Beliau juga menjelaskan betapa tingginya nilai sahur bagi ummatnya; beliau bersabda:

“Pembeda antara puasa kami dan Ahlul Kitab adalah makan sahur.”

Di dalam hadits lain, Nabi Saw melarang meninggalkannya, beliau bersabda:

“Sahur adalah makanan yang barakah, janganlah kalian tinggalkan walaupun hanya meminum seteguk air karena Allah dan MalaikatNya memberi sahalawat kepada orang-orang yang sahur.”[11]

Rasulullah Saw bersabda:

“Sahurlah kalian walaupun dengan seteguk air.”[12]
====================================================================
[1] Lihat sebagai tambahan tafsir-tafsir berikut: Zâdul Masir, jld. 1, hal. 184 oleh Ibn al-Jauzi, Tafsîr al-Qur’an al-‘Adhim, jld. 1, hal. 213-214 oleh Ibn Katsir, ad-Durul Mantsur, jld. 1, hal. 120-121 karya Imam as-Suyuthi.

[2] HR Muslim 1096.

[3] HR. ath-Thabrani dalam al-Kabîr 5127, Abu Nu’aim dalam Dzikr al-Akhbar ash-Shbahan 1/57 dari Salman al-Farisi al-Haitsami berkata al-Majma 3/151 dalam sanadnya ada Abu Abdullah al-Bashiri, adz-Dzahabi berkata: “Tidak dikenal, perawi lainnya tsiqat.” Hadits ini mempunyai syahid dalam riwayat Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh al-Khatib dalam Munadih Auhumul Sam’i Watafriq 1/203, sanadnya hasan.

[4] HR. asy-Syirazy (al-Alqzb) sebagaimana dalam Jami’ ash-Shagir 1715 dan al-Khatib dalam al-Muwaddih, jld. 1, hal. 263 dari Abu Hurairah dengan sanad yang lalu. Hadits ini hasan sebagai syawahid dan didukung oleh riwayat sebelumnya. Al-Manawi memutihkannya dalam Fawaid al-Qadir, jld. 2, hal. 223.

[5] HR. an-Nasâ’i 4/145 dan Ahmad 5/270 sanadnya shahih.

[6] Adapun hadits al-Irbath diriwayatkan oleh Ahmad 4/126 dan Abû Dâwud 2/303; an-Nasâ’i 4/145 dari jalan Yunus bin Saif dari al-Harits bin Ziyad dari Abi Rahm dari al-Irbath. Al-Harits majhul (tidak diketahui). Sedangkan hadits Abu Darda diriwayatkan oleh Ibn Hibban 223, Mawarid dari jalan Amr bin al-Harits dari Abdullah bin Salam dari Risydin bin Sa’ad. Risydin dhaif. Hadits ini ada syahidnya dari hadits al-Migdam bin Ma’dikarib. Diriwayatkan oleh Ahmad 4/133. an-Nasâ’i 4/146 sanadnya shahih.

[7] HR. Abû Dâwud 2/303; Ibn Hibban 223; al-Baihaqi 4/237 dari jalan Muhammad bin Musa dari Said al-Maqbari dari Abu Hurairah. Dan sanadnya shahih.

[8] HR. Bukhâri 4/118 dan Muslim 1097. Al-Hâfidz Ibn Hajar al-Asqalâni berkata dalam Fath al-Bârî, jld. 4, hal. 238: “Di antara kebiasaan Arab mengukur waktu dengan amalan mereka, (misal): kira-kira selama memeras kambing. Fawaqa naqah (waktu antara dua perasan), selama menyembelih onta. Sehingga Zaid pun memakai ukuran lamanya baca mushaf sebagai isyarat dari beliau ra bahwa waktu itu adalah waktu ibadah dan amalan mereka membaca dan mentadhabur al-Qur’an.” Sekian dengan sedikit perubahan.

[9] HR. Ibn Abi Syaibah 3/8; Ahmad 3/367; Abu Ya’la 3/438; al-Bazzar 1/465 dari jalan Syuraik dari Abdullah bin Muhammad bin Uqail dari Jabir.

[10] HR. Bukhâri 4/120 dan Muslim 1095 dari Anas.

[11] HR. Ibn Abi Syaibah 2/8 dan Ahmad 3/12, 3/44 dari tiga jalan dari Abu Said al-Khudri. Sebagaimana menguatan yang lain.

[12] HR. Abu Ya’la 3340 dari Anas, ada kelemahan, didukung oleh hadits Abdullah bin Amr di Ibn Hibban no.884 padanya ada ‘an-anah Qatadah. Hadits hasan.

My Readers